Senin, 10 Mei 2021

Selembar Undangan Kematian



Dalam kondisi ekstase pada puncak fanabillahnya, 
al Hallaj, dengan penuh kesadaran jiwa mengucapkan perkataan, ana al Haq. 
Ucapan yang sedemikian meyakinkan tanpa sedikitpun ada keraguan. 
Ucapan yang menggetarkan sekaligus menggemparkan. 
Ucapan yang tidak lain ialah percikan nyala pelita hatinya, 
serta terpaan cahaya kesadaran ilahi yang membumbungkan jiwanya. 
Rupanya, ucapan itu juga yang menjadi awal dari malapetaka cinta yang menerpa, 
dan menjadi kidung penghantar takdir menuju penghujung riwayat hidupnya.

Mulanya, ketika ia menerima kabar akan diadakannya perjamuan suci di istana ilahi, 
segeralah ia mempersiapkan hati dan jiwa, kalau-kalau ia menjadi yang terpilih 
untuk menghadiri perjamuan itu. 
Benar saja, Sang Ilahi memilihnya, dan ia pun menyambut dengan penuh sukacita.
Selembar undangan Ilahi pun ia terima melalui perantara 
utusan bergelimang cahaya, terpana ia seolah tak percaya. 
Bak sehelai daun yang gugur dari sebuah pohon langit, 
syahdu, undangan itu jatuh di keluasan taman hatinya 
yang semarak dengan bunga-bunga cinta 
dan sarat dengan wewangian kerinduan.

Maka, selayaknya hari raya ia menyambut dan menyongsong 
hari perjamuan dengan tiada henti mengumandangkan senandung 
takbir, tahlil dan tahmid, serta salawat demi salawat 
kerinduan kepada Sang Pujaan.
Derai-derai airmata memancar dari mata-air mata cemaranya, 
tumpah mengaliri lereng kedua pipinya, kemudian jatuh menimpa sehelai daun, 
serupa tetes embun disela kelopak sekuntum bunga yang ranum 
diterpa oleh cahaya matahari pertama. 
Seperti itulah ranum pada pipinya yang menyiratkan betapa gelisah 
dan malunya ia kelak jika dihadapkan pada perjumpaan 
dengan Sang Kekasih pujaan.

Dalam hati ia kemudian menyapa Sang Pujaan,
“Duhai Engkau Sang Pemilik undangan, katakanlah, apakah tebusan 
atas selembar undangan yang telah Engkau kirimkan?
Duhai Engkau Sang Penghendak pertemuan, sampaikanlah, apakah harga 
atas pertemuan yang telah Engkau janjikan?
Wahai Engkau Sang Tuan rumah perjamuan, bisikkanlah, hidangan seperti apakah 
yang nanti akan Engkau hidangkan di meja perjamuan?
Duhai, jika tebusannya adalah berupa hidupku, maka ambillah, karena sepenuhnya 
hidupku telah kupersembahkan hanya kepada-Mu.
Duhai, jika bayarannya adalah berupa kematianku, maka segerakanlah, karena bagiku 
hidup sudah serasa seperti kematian, jika awal dan akhirnya mesti kulalui 
tanpa sekalipun berjumpa dengan-Mu, 
dan tanpa sekejap dapat memandang indah wajah-Mu.”

“O Labbaikallahumma Labbaik… Labbaika Laa Syarika Laka Labbaik…”
teriaknya kini kian membuncah.
Lihatlah, sang Pencinta datang dengan penuh kesungguhan 
dan keseluruhan, serta dengan penuh penghadapan. 
Tak dihiraukannya lagi hal yang lainnya, karena baginya, 
selain dari diri-Nya hanyalah hijab belaka.
Lihatlah, sang Pencinta melangkah dengan penuh kesadaran 
dan keyakinan, serta dengan penuh ketakziman..
Tak dipikirkannya lagi hal yang lainnya, karena baginya, 
selain dari diri-Nya hanyalah semu belaka.

O lihatlah, Sang Kekasih menyambutnya, seraya menghidangkan 
secawan anggur merah delima sebagai pertanda cinta 
dan sambutan kepada sang Pencinta.
Duhai lihatlah, meski Sang Kekasih hanya menghidangkan anggur 
tanpa secawan susu, sang Pencinta tetap dalam adabnya, 
karena sepenuhnya ia sadar dengan kedudukannya. 
Bahwasanya ia sedang berada dalam ketetapan tanpa pilihan: anggur atau susu.
Tidak ada pilihan memang, selain hanya menyantap apa yang telah dihidangkan 
Sang Kekasih di meja perjamuan.

Di bawah tajamnya tatapan Sang Kekasih, 
ditenggaknya anggur dengan gugup dan penuh degup. 
Sesaat ia merasa gentar dan penuh getar, 
ditenggaknya anggur dengan khusyuk dan penuh sabar. 
Perlahan tatapan Sang Kekasih berubah syahdu dan melegakan.
Meski demikian, tatapan Sang Kekasih 
tetap saja terasa dalam dan begitu menghunjam. 
 
Tenggak demi tenggak anggur kian terasa hangat mengalir 
bagai tetes zaitun yang menyulut pelita 
serta memantik nyala penuh cahaya. 
Seketika jiwanya melesat ke langit ketiga 
melewati maqam demi maqam para Pencinta.
Di sana, ia dapati ruh-ruh saling berbaris dan ia pun tersenyum manis. 
Semanis senyumannya ketika ia melihat jiwa-jiwa para pencinta, 
saling menghidangkan cawan-cawan cinta yang begitu lama ia dambakan.

Maka, jatuhlah ia pada tingkatan kesadaran jiwa 
yang membuatnya merasa begitu mabuk kepayang,
dan menjadikan ia sebagai pencinta yang malang.
Sebab, Sang Kekasih tiba-tiba pergi dan menghilang, 
sendirian ia kini dalam kelambu kesepian.
Bak pengantin perempuan yang ditinggalkan pengantin lelaki 
tanpa sebuah pertanda dan adanya kejelasan.
Yang tertinggal hanyalah seberkas tatapan Sang Kekasih 
yang masih terpatri pada dinding hati. 
Dan yang tersisa hanyalah semerbak kerinduan 
beserta wewangian Sang Kekasih yang menyeruak 
memenuhi segenap ruang intisari.

O, betapa perpisahan yang mengejutkan itu membuatnya limbung dan linglung 
dihadapan mereka yang bingung dengan setiap perkataan dan perbuatannya. 
Dan betapa keterpisahan itu telah membuat ia dilanda amuk rindu yang tak berkesudahan.
Hal itu semata karena ia telah sampai ke dalam fase cinta yang sedemikian dalam. 
Sehingga, setiap sesuatu yang terlihat olehnya, hanyalah Dia,
yang terdengar olehnya hanyalah nama-Nya 
dan yang terasa baginya hanyalah tentang-Nya.
Serta, setiap sesuatu yang ia tuju hanya demi menemukan-Nya semata. 
Dan bahkan pada segala sesuatu dalam ada dan tiada baginya 
hanya ada Dia, selain Dia adalah tiada.

Al Hallaj, dalam perjalanannya menemukan kembali jejak Sang Kekasih, 
membawanya pada sebuah ketetapan yang membuat ia mesti berhenti berjalan.
Sebab, telah datang baginya waktu penebusan dan saat penghakiman.
Dan tidak ada pilihan, sama halnya ketika Sang Kekasih 
hanya menghidangkan anggur tanpa secawan susu, 
ia paham betul jika selembar undangan yang telah ia terima 
tak lebih dari sekadar undangan kematian baginya.
Dan anggur yang telah habis ia sesap, 
mesti ia tebus dengan darah yang tertumpah.

Telah usailah segala sangsai, telah sampailah di ujung kata selesai.
Palu takdir kematian telah diketuk di meja hijau-Nya, 
menjadikan al Hallaj sebagai terdakwa di pengadilan cinta
atas semua pernyataan cintanya di dunia.
Dan al Hallaj divonis mati agar lekas kembali 
berjumpa dengan Sang Kekasih hati.

Di bumi, al Hallaj menjalani kematian yang sungguh tidak manusiawi,
namun di langit, al Hallaj disambut sebagai seorang Kekasih sejati. 
Dan lihatlah, Sang Kekasih menghidangkan untuknya secawan susu murni, 
sebagai pertanda ia kembali dengan hati murni dan jiwa yang suci.
Inna lillahi, al Hallaj mati sebagai martir Ilahi. 
Wa innailaihi, al Hallaj kembali sebagai kekasih Ilahi Rabbi.

(Pemuda Fana, Air Raja, Oktober 2020 s/d Januari 2021)

Tidak ada komentar:

Amplifikasi Konspirasi: Nada-Nada Korupsi

   Karya : Selena Di negeri ini, bayangan kelam membentang, Di balik senyuman, ada air mata yang tenggelam. Korupsi merajalela, ibarat hantu...